Berbicara dan Mendengarkan dalam Keheningan

Kalau Anda ingin berbicara dengan orang lain atau berdialog tentang masalah-masalah kehidupan yang lebih dalam, yang bukan-teknis, Anda musti tahu bagaimana mendengarkan. Bukan hanya mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, tetapi terlebih mendengarkan suara-suara batin dan melihat gerak-gerik batin Anda sendiri. Selama ada keheningan batin, bebas dari reaksi dan prediksi mental, kita barangkali bisa mendengarkan dengan tajam dan berbicara dengan penuh daya.

Menyadari reaksi dan prediksi mental
Berbicara dan mendengarkan merupakan dua proses yang tak terpisahkan. Ketika tidak ada proses melabeli, tiada mengetahui, tiada reaksi memori, indra bekerja secara utuh. Bukan hanya mulut yang berbicara dan telinga mendengar, tetapi keseluruhan indra kita bangun. Ketika gambaran-gambaran masa lampau, penilaian, kesimpulan, keinginan, ketakutan, harapan tidak mengintervensi, tidak ada keterpisahan antara pembicara dan pendengar. Dalam kesatuan seperti ini, komunikasi yang intens dalam keheningan membuat dimungkinkannya pemahaman total akan sesuatu.

Kalau kita duduk bersama dengan batin yang hening, maka ada semacam gelombang radiasi yang menyatukan. Selama retret dimana keheningan betul-betul dijaga, kebanyakan orang mengalami pintu hati dibuka dan merasakan secara aktuil rahmat keheningan yang menyatukan. Bisakah keheningan seperti ini kita biarkan muncul dalam berbicara dan mendengarkan? Jeda keheningan di mana kita merasa tidak terpisah merupakan hal yang esensial dalam dialog sebelum kata-kata dirangkai dan dikomunikasikan.

Kebanyakan dari kita sudah memiliki pola tertentu dalam berbicara, mendengarkan, dan berdialog. Kita memiliki gagasan tertentu untuk disampaikan dan merasa tahu apa yang hendak dikatakan orang lain. Kita sudah terbiasa menilai dan membuat kesimpulan tentang orang lain. Kita menafsir kata-kata menurut pikiran kita, merekam makna di balik intonasi nada, menafsir bahasa tubuh, cepat membuat penilaian dan menarik kesimpulan. Lalu kita melawan atau membela diri, mengkritik atau dikritik, menjatuhkan atau dijatuhkan, mengalahkan atau dikalahkan, saling memaki, saling mengutuk.

Pola dialog yang digerakkan oleh persepsi pikiran tidak membawa orang kepada pemahaman akan masalahnya secara utuh. Tidak ada kejernihan, penghargaan timbal-balik, persahabatan yang tulus, keterbukaan, pemahaman akan motif-motif tersembunyi, nilai-nilai, keinginan, ketakutan, harapan-harapan. Kalau dialog berlangsung tanpa reaksi-reaksi dan prediksi-prediksi mental, terbuka luas kemungkinan akan pemahaman yang mendalam dari kedua belah pihak.

Mendengarkan suara alam-semesta
Marilah kita belajar mendengarkan dan untuk bisa mendengarkan batin perlu betul-betul relaks. Pertama-tama bisakah kita mendengarkan objek-objek di luar dengan tubuh yang tenang dan batin betul-betul hening? Coba dengarkan suara-suara di sekitar Anda, suara dari alam semesta, dari suara yang paling keras hingga yang paling lembut. Dengarkan suara angin yang menerpa pepohonan, deru gelombang atau gemericik air sungai, suara burung-burung atau binatang-binatang serangga, suara orang-orang di sekitar lingkungan Anda berdiri, suara deru mesin bermotor, dst. Tidak ada bedannya Anda mendengarkan suara-suara alam semesta di tengah hutan, di pegunungan, di pantai atau suara hiruk pikuk di tengah pasar atau di keramaian kota. Dengarkan semua itu bersama-sama, tanpa fokus pada suara tertentu. Bukankah Anda menemukan keindahan yang mahaluas?

Janganlah berkonsentrasi. Selama masih ada upaya untuk berkonsentrasi, maka di sana belum ada perhatian. Dalam konsentrasi ada pergulatan. Anda memfokus pada sesuatu hal sebagai objek konsentrasi. Anda membuang, menekan, mengalihkan segala sesuatu yang lain yang bukan objek konsentrasi pilihan Anda. Semua yang tidak Anda inginkan itu tetap datang dan Anda akan terus sibuk melawannya. Maka pergulatan terus berlangsung tanpa akhir.

Perhatian itu berbeda dengan konsentrasi. Dalam konsentrasi, kita memfokus pada sesuatu hal. Dalam perhatian, tidak ada fokus apapun. Kita hanya memperhatikan segala sesuatu di luar maupun di dalam batin tanpa reaksi-reaksi mental, tanpa prediksi-prediksi mental, melihat atau mendengarkan apa adanya tanpa campur tangan si aku.

Lihatlah batin Anda. Begitu mendengar sesuatu, batin kita sering kali cepat merespons dengan menamai, menilai, menolak, melekati. Ketika reaksi-reaksi mental ini Anda sadari dan berhenti, ketika kebisingan batin berakhir, maka dalam beberapa saat Anda menemukan suatu keindahan yang berbeda yang muncul dari apa yang Anda dengar.

Mendengarkan teman bicara
Sekarang perhatikan cara Anda mendengarkan teman bicara Anda. Bisakah Anda mendengarkan teman bicara Anda dengan perhatian penuh seperti Anda mendengarkan suara-suara alam di sekitar Anda tanpa reaksi-reaksi mental? Bisakah Anda mendengarkan tanpa menamai bahwa itu sebuah kritikan atau pujian sehingga Anda tidak mudah terluka oleh cacian atau mudah besar kepala oleh sanjungan?

Apa yang terjadi ketika Anda mendengar sesuatu berulang kali dari teman bicara Anda? Apakah Anda mengantisipasi apa yang akan dikatakannya, memprediksi kata-kata sebelum diucapkan? Apakah si pembicara hanya sekedar mengulang-ulang secara mekanik apa yang dulu pernah diucapkan? Dan apa reaksi Anda? Apakah Anda lalu mendengar dengan kesimpulan tertentu, harapan atau keinginan tertentu?

Dalam kebanyakan waktu kita mendengar dan berbicara dari memori. Lalu kita terbiasa berbicara dan mendengar dengan cara tertentu. Bisakah kita berbicara dan mendengarkan bukan sebagai reaksi memori, bukan melakukannya sebagai kebiasaan, kecuali untuk mengingat bahasa agar kita bisa berkomunikasi? Apakah Anda bisa mendengarkan teman bicara Anda seolah-olah Anda baru mendengar pertama kalinya tanpa respons memori?

Respons memori seringkali menyusup dan pikiran mengatakan, “Aku telah mendengarnya sebelumnya. Aku sudah tahu.” Bisakah pikiran ini kita kenali saat kemunculannya? Pikiran yang merasa ”sudah tahu” membuat kita tidak bisa mendengarkan dan berbicara dengan penuh perhatian.

Kebenaran tidak bisa ditemukan dari memori, tetapi hanya bisa ditemukan secara aktuil dari saat ke saat. Orang lain tidak bisa menemukannya bagi Anda; Anda musti menemukannya sendiri. Oleh karena itu, ketika Anda menemukan sendiri kebenarannya, tidak perlu Anda menyimpannya dalam memori karena memori justru membatasi penemuan secara aktuil tentang kebenaran.

Kita sudah memiliki pandangan tertentu tentang sesuatu dan menganggapnya sebagai kebenaran. Lalu kita melekatinya dan pikiran mengatakan ini ”pendapatku”, ”caraku”, ”kebenaranku”. Muncullah ”si aku” yang dianggap penting untuk dibela atau dilindungi. Ketika orang lain berbeda pendapat dengan kita, seringkali kita merasa diserang, ditolak atau tidak diterima. Lalu kita mudah merasa terluka, sedih, jengkel, marah. Ketika tidak ada proses identifikasi, tidak ada kelekatan, apakah ada sesuatu yang perlu dibela? Ketika tidak ada yang perlu dibela, lalu apa yang tersisa? Apakah kita tidak rela menjadi bukan siapa-siapa, takut kehilangan apa yang kita anggap bermakna? Apakah kita melihat ketakutan itu secara langsung saat kemunculannya?

Selama kita mendengarkan dalam keheningan, maka luka-luka kita banyak disembuhkan. Kita sendiri lalu dibebaskan dari kemungkinan jatuh terluka atau melukai orang lain. Luka hanya muncul selama masih ada ”si aku” yang mendengarkan dan berbicara dari dan untuk kepentingannya sendiri.

Apa yang Anda lakukan ketika ada orang terluka jiwanya dan datang kepada Anda? Anda tidak bisa menyembuhkan mereka dengan setumpuk nasehat atau mencoba meyakinkan mereka tentang kebenaran yang Anda pegang. Kesembuhan hanya mungkin datang selama orang yang terluka ini berani melihat secara langsung jiwa mereka yang terluka dalam keheningan. Kerelaan Anda untuk hadir sepenuhnya, untuk menemaninya, untuk tinggal bersama dengannya dalam keheningan bukan hanya membantu mereka mendapatkan kelegaan, tetapi juga membantu menemukan sendiri pemahaman total akan masalah-masalah yang dihadapi.

Jadilah cermin
Ketika orang lain membicarakan kebaikan Anda, apa reaksi Anda? Senang, bangga, bahagia atau besar kepala? Orang lain bisa melihat kebaikan atau keindahan dalam diri Anda karena pertama-tama mereka sudah memiliki kebaikan atau keindahan dalam diri mereka. Kalau mereka tidak memiliki keindahan dalam diri mereka, keindahan dalam diri Andapun tidak akan bisa mereka tangkap. Jadi bukan pertama-tama Anda yang membuat keindahan itu tampak, tetapi keindahan dalam diri orang lain itu sendirilah yang membuat mereka mampu melihat keindahan dalam diri Anda. Hanya saja keindahan Anda seringkali justru membutakan ketika orang lain melekatinya, sehingga mereka tidak lagi melihat keindahan dalam diri mereka sendiri. Maka jadilah cermin bagi orang lain agar merekapun bisa kembali melihat kebaikan atau keindahan dalam diri mereka ketika mereka melihat diri Anda.

Ketika Anda mendengar orang lain membicarakan keburukan Anda, apa reaksi Anda? Tersinggung, terluka, sedih, marah? Sadarilah reaksi-reaksi batin Anda dan biarkan batin berada pada titik hening. Kalau mereka salah, tentu Anda tidak akan marah. Kalau mereka benar, tentu Anda juga tidak akan terluka. Kemarahan atau luka hanya terjadi ketika batin tidak hening, tidak ada perhatian. Ketika tidak ada perhatian, si aku kembali menguasai batin Anda.

Janganlah cepat-cepat menanggapi secara pribadi karena jawaban dari batin yang tidak hening hanya akan memperkuat si aku dan mendistorsi komunikasi. Ketika diperlukan untuk menanggapi, sampaikan lebih dahulu dengan tenang apa yang Anda dengar tanpa reaksi mental apapun, ”Saya mendengar bahwa Anda mengatakan sesuatu.” Dengan menyampaikan apa yang Anda dengar, biarkan mereka tahu bahwa Anda tahu dan sungguh-sungguh mendengarkan apa yang mereka katakan. Ini akan membantu mencairkan situasi yang tegang dan Anda akan memahami secara lebih baik apa yang dikatakan orang lain.

Barangkali ada orang-orang yang tidak pernah bisa melihat keindahan tetapi hanya bisa melihat keburukan dalam diri Anda. Mereka berlaku demikian karena mereka tidak memiliki keindahan dalam diri mereka. Kalau Anda mendengar cacian terhadap diri Anda, lihatlah bahwa sebenarnya mereka telah mencaci-maki dirinya sendiri. Kalau Anda bersikap tenang, tidak terluka, tidak marah, barangkali Anda bertindak sebagai cermin yang membuat orang yang mencaci-maki diri Anda akan terbantu melihat wajah mereka sendiri yang sebenarnya.

Seringkali orang mengatakan sesuatu hal tetapi bertindak berlawanan dengan apa yang ia katakan. Kadang kala orang menyampaikan pesan-pesan sarkastik lewat humor atau tawa sehingga sulit menangkap pesan utamanya. Lihatlah bahasa tubuhnya, apakah sesuai dengan ekspresi kata-kata yang terungkap. Setiap kali Anda menangkap pesan ganda, mintalah untuk berhenti dan tanpa menganalisa atau menarik kesimpulan, mintalah klarifikasi. Kalau kita menghindari konflik dan mencoba untuk menjaga harmoni dengan menipu diri untuk bicara secara tidak jujur, maka kebenaran yang terepresi itu akan keluar dengan sendirinya dalam cara yang lain seperti marah, menarik diri, mengeluh, atau berbagai bentuk pelarian diri. Berbicara tentang kebenaran barangkali akan menyakitkan, tetapi melihat langsung kebenaran ini membuat kita bebas.

Ketika teman bicara Anda mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, penilaian mereka, itu adalah benar menurut keterkondisian mereka. Kalau Anda cepat-cepat menilai dan menyimpulkan, maka Anda sudah terjebak dalam keterkondisan yang sama. Maka dengarkan dahulu apa yang mereka katakan. Anda tidak perlu menilai, menolak atau menerima. Dengan mendengarkan orang lain dalam keheningan, kita sendiri membantu orang lain mengeluarkan racun-racun dari luka psikologis mereka, keluar dari keterkondisian mereka. Selama si pembicara yang terluka dan pendengar yang penuh perhatian berkomunikasi dengan batin yang hening, ada kemungkinan rahmat kesembuhan itu mengalir dengan sendirinya.

Menghadapi jiwa yang terluka di hadapan Anda, barangkali tidak ada tanggapan yang lebih kuat selain bertanya, “Ya, ada lagi yang lain?” Pertanyaan seperti itu menggerakkan orang lain untuk lebih jauh mengungkapkan isi hatinya. Lebih banyak mereka berbicara dan lebih sedikit Anda menginterupsi atau bereaksi secara defensif, lebih kuat energi kesatuan tersambung. Memberikan ruang lebih banyak kepada orang lain untuk bercerita di depan Anda membuat Anda lebih memahami kedalaman keterkondisian dan luka yang mereka derita. Dengan melihatnya secara langsung, Anda sendiri ditolong untuk keluar dari keterkondisian Anda sendiri dan dengan kebebasan dari keterkondisian itu Anda akan lebih jernih bisa menunjukkan jalan kepada orang lain untuk keluar dari penjara keterkondisiannya.

Bisa terjadi komunikasi tidak mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tetapi justru makin memuncak dalam konflik. Ada orang-orang yang memang tidak siap berdialog dengan batin yang hening karena tidak berani menanggalkan persepsi pikiran mereka sendiri. Terhadap orang-orang semacam itu kita musti berani mengatakan “Cukup. Dialog musti dihentikan karena tidak akan membawa kita kemana-mana.”

Kalau mereka masih menunjukkan keterbukaan untuk melanjutkan dialog, akan banyak gunanya mengambil waktu jeda. Selama waktu jeda, Anda dan teman dialog Anda memiliki kesempatan lebih banyak untuk mendengarkan gerak-gerik batin. Waktu jeda merupakan sarana efektif untuk memotong energi agresi dan membuka pintu pemahaman satu dengan yang lain secara lebih baik. Katakan bahwa Anda membutuhkan waktu sendiri untuk mengolah batin atau berdiam diri. Ajaklah teman dialog Anda untuk melakukan hal yang sama. Ketika Anda sudah siap katakan bahwa Anda akan berhubungan kembali.

Kalau cermin kita kotor, maka kita tidak bisa melihat wajah kita sendiri dengan jernih. Begitu pula orang lain. Mereka tidak akan bisa melihat diri mereka lewat cermin kita. Waktu jeda merupakan kesempatan untuk membersihkan cermin kita sendiri. Seperti apakah cermin Anda sekarang?*

0 Response to "Berbicara dan Mendengarkan dalam Keheningan"

Posting Komentar

Powered by Blogger